Thursday, January 7, 2016

[Cerpen] Dalamnya Beda

Oleh Teuku Mukhlis
Kamis, 07 Januari 2016






Ilustrasi (SHF)

Wahed penjual durian di seputaran Darusalam, gayanya menyedot perhatian ratusan orang yang lalu lalang menyusuri jalan, "Mampir- mampir dek, bang. Ini durian Kalau beli satu harganya murah, beli dua biji lebih murah lagi, "kata wahed , suara itu yang terus keluar dari mulutnya seraya memancarkan senyum ompong manis  ke semua orang yang lalu lalang di jalan, kebetulan Wahed berjualan di depan Fakultas Ekonomi Unsyiah .


Lalu, Bagek yang lewat berencana ingin mencari udara segar secara kebetulan melihat dengan sekilas lapak jualan durian itu, dia memaju kendaraannya 50 KMJ, tiba-tiba kakinya menginjak rem dalam-dalam, hampir saja si Ampon Intelektual Muda kawan yang dibelakagnya jatuh terkulai mencium aspal, dalam hati Bagek hanya tergiang, "wah ini kesempatan aku belah duren, sudah lama  lidahku tidak bergoyang merasakan buah dari surga itu."

Dengan penuh hasrat, Bagek terus memandang buah yang mamancarkan aroma sedap itu.
Iet,,, suara standar bagek markir motornya, senyum Bagek mengembang saat memegang durian kecil, tangannya meraba-raba ke setiap lingkaran buah itu.

“Bang ini yang paling kecil ini berapa harganya?” Tanya bagek sembari berharap harga murah.
“Kalau ini maharnya sekitar Rp 50.000,” jawab Wahed.
“Hah... kok mahal sekali, padahal ini kecil banget,” tanya Bagek sontak terkejut.
“Kamu kira durian itu murah ya? Coba kamu pergi ketempat lain ada tidak durian yang harganya murah?” Jawab Wahed seraya menampakkan gigi ompognya.
“saya belum pernah beli duren, kalau makan pernah, biasa punya kawan,” jawab Bagek polos.
“Lagian punya saya ini durian Aceh, bukan barang dari Medan,” elak Wahed.

Pikiran Bagek mengembara, angin yang berhembus dari timur menelusup masuk dalam celah-celah baju dan membelai lembut rambut indahnya, dia semakin terlena melihat durian-durian itu yang begitu exsotis. Sempat terlintas dalam pikiran kosongnya, “Kalau bukan sekarang kapan lagi saya makan ya?” Apalagi kakak Bagek saat itu tidak ada di rumah karena sudah pulang ke kampunya kemarin sore. Andai saja kakaknya ada di rumah, Bagek pasti ditegur, dia tidak suka bau mulut orang makan durian.

Waktu terus berjalan mengejar angka-angka, bagek mengambil kesimpulan untuk membeli.
“Yaudah bang saya beli satu yang kecil tadi, tapi itu cantik dan bagus kan," tanya Bagek was-was.
“Yang ini walaupun kamu lihat kecil tapi kamu akan puas nanti,” jawab Wahed memuji duriannya.
“Sebelum aku belah, ini berapa harganya?” Lanjut Bagek riang.
“Kali ini saya kasih untuk kamu murah-murah sajalah, yang di dekat kakimu itu harganya cuma Rp 45.000 ,” gumam Wahed.

“Ok, berarti deal ya, oya terjmain bagus dan masak kan?” Bagek.
“O... tentu  dong, itu dari bunganya saja sudah mulai aku jaga, tidak sempat di goda hama,” sergah Wahed mencoba meyakinnkan Bagek.

Bagek semkin tidak sabar, dia meminta sebilah parang untuk membukanya sekarang, dengan penuh tanda tanya Bagek perlahan membuka buah itu, wajah penasarannya semakin mencuat saat isinya mulai terlihat, ia mengambil satu biji pertama dan merasakannya.

Bruh,,, durian itu dimuntahkan Bagek ke atas paras putih Wahid yang terlihat segar dan ompong itu.
“Loh kok aneh rasanya, abg bilang tadi isinya bagus, tapi ini kok dah busuk,” kata bagek, geram.
“Kan kamu udah liat sendiri tadi” elak Wahed.
“Iya saya memang melihatnya dari luar, mana mungkin saya lihat sampai ke dalam sebelum saya beli,” tambah Bagek dengan suara kencang.
“Maaf aku juga tidak melihat ke dalam, makanya aku berani bertaruh bahwa durianku itu masih bagus,” sahut Wahed.

Suasana dingin seketika berubah menjadi panas bagi Wahed, dengan wajah malu dia mencoba untuk menjelaskan kepada Bagek yang sudah begitu kecewa. Angin malam berhembus kian kencang, debu serta dentuman kendaraan anak manusia yang berlalu lalang mendarat di mukanya, tapi dia tidak perduli.

Segala cara dicari Wahed untuk membuat bagek tersenyum lega seraya berharap dia percaya dengan barang dagangannya itu bukan busuk, tapi kurang bagus. Namun apa daya nasi sudah menjadi bubur, semuanya telah terlanjur, Wahed tidak serius mangawasi duriannya itu sewaktu masih berbunga.
Dengan nada kecewa Bagek berkata, “Maaf bang Wahed, durian abang tidak bisa saya beli, dari luarnya saja bagus, sementara dalamnya sudah tidak bisa saya bayangkan, Hancur.”

Mendengar ucapan itu, Wahed hanya tertunduk lesu di atas kursi kayu, diam mematung. Selang berapa detik, Bagek bergegas pulang dan menyalakan motor Mio Soul merahnya, tidak lama kemudian bagek lenyap dalam pandangan Wahed.

*Teuku Mukhlis Alumnus Sekolah Hamzah Fansuri


[Cerpen] Dalamnya Beda Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown