foto, Bagek dan kawan-kawan sedang kerja mesin perontok padi |
SHF- "Sanggupkah aku membawa beban seberat ini untuk mengumpulkan 20 mayam mahar (jeulame)?" Pertanyaan itu yang lantas muncul dalam benak Bagek atau nama aslinya Muhammad Iqbal, terlihat jelas tetesan keringat berwarna bening yang bercucuran deras di setiap sudut pipinya, hampir seluruh parasnya basah dan tercampur dengan serbuk padi yang terasa gatal menyengat.
Baca juga: Cerita Nazemi Amara yang Berhasil Meraup Ratusan Ribu Rupiah dengan Berjualan Jus
Namun mau bagaiamana lagi, pria Langgien itu sudah terlanjur mengikat bunga kembang desa asal Aceh Timur, dalam bahasa Aceh mengikat sama dengan memberikan tanda atau dengan istilah lainnya adalah tunangan. Tunangan di Aceh harus menyerahkan emas sebagai tanda jadi kepada calon wanita yang ingin dinikahkan, minimal dua mayam.
Bagek adalah salah satu pemuda asal Pidie Jaya tepatnya Gampong Langgien, ia memiliki pekerjaan sehari-hari sebagai buruh kasar, dirinya tak peduli harus bekerja apa, satu komitmen selalu melekat kental dalam dirinya yaitu bekerja halal dan tidak ingin terlibat hal yang tidak dianjurkan agama meski dia harus bekerja di bawah panasnya terik matahari yang begitu menyengat kulit seperti yang dilakukan saat ini.
Menurutnya lagi, kerja keras yang ia pikul saat ini merupakan suatu kewajiban baginya, bagaimana tidak, dirinya sudah lima tahun berkenalan dengan salah satu gadis perparas ayu asal Aceh Timur tersebut, pihak keluarga wanita sudah berulang kali memintanya untuk segera menjadi pasangan suami istri.
Kegigihan dan keuletan terlihat saat dirinya menjadi nahkoda dalam bekerja sebagai buruh perontok padi, ketika awan gelap mulai menyelimuti bumi dan hujan akan segera turun membasahai bumi, dia tampak begitu sibuk mengontrol kawan-kawan yang lain untuk bekerja extra.
Di Aceh untuk meminang seorang gadis tidak seperti membalikkan telapak tangan, bumi Sultan Iskandar Muda ini merupakan salah satu daerah yang memiliki tradisi yang terkenal keras sejak jaman dahulu kala, maka tak ayal, hal inilah yang menyebabkan putri Aceh memiliki nilai lebih daripada daerah lain.
kendatipun demikian, pihak keluarga perempuan tidak terlalu memberatkan kubu pria, tetapi juga harus sama-sama mengerti, jika sudah memberikan tanda, itu mengindikasikan akan jadi untuk melankah ke jenjang yang lebih serius, yaitu "Peumat jaro malem (pernikahan)." jadi tidak ada istilah untuk main-main.
Hal ini menjadi pil semangat yang mendorong Bagek untuk selau bekerja keras walau harus banting tulang, ibarat kacang yang sudah tua, jika tidak dipetik maka tak tahu mau dibawa ke mana, begitu pula dengan Bagek, dirinya merasa jika tidak akan menikah secepatnya maka bunga puajaan hatinya akan di ambil oleh orang lain. "Cinta diawak kawin di orang" kalimat itu yang ditakutkannya.